Rabu, 07 September 2016

RESENSI NOVEL NEGERI 5 MENARA



RESENSI NOVEL NEGERI 5 MENARA





Identitas buku
Judul Novel : Negeri 5 Menara
Pengarang : Ahmad Fuadi
Bahasa : Indonesia
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : Agustus 2009
Jumlah Halaman : 424 hal









Ringkasan Cerita
Novel berjudul Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi ini menceritakan tentang seorang pemuda bernama Alif yang lahir di pinggir Danau Maninjau dan tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa kecilnya adalah berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, bermain bola di sawah berlumpur dan tentu mandi berkecipak di air biru Danau Maninjau.
Tiba-tiba saja dia harus naik bus tiga hari tiga malam melintasi punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamka walau Alif ingin menjadi Habibie. Dengan setengah hati dia mengikuti perintah Ibunya untuk belajar di pondok pesantren di daerah jawa.
Di kelas hari pertamanya di Pondok Madani (PM), Alif terkesima dengan “mantera” sakti man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses.
Disana dia terheran-heran mendengar komentator sepakbola berbahasa Arab, anak menggigau dalam bahasa Inggris, merinding mendengar ribuan orang melagukan Syair Abu Nawas dan terkesan melihat pondoknya setiap pagi seperti melayang di udara.
Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid yang menjulang, mereka berenam kerap menunggu maghrib sambil menatap awan lembayung yang berarak pulang ke ufuk. Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Kemana impian jiwa muda ini membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.


Kelebihan Novel
• Novel Negeri 5 Menara ini sangat menarik, mengharukan, dan sangat inspiratif.
• Banyak nilai-nilai keislaman yang terkandung dalam novel ini.
• Pondok Madani tidak hanya sebuah sekolah agama (yang biasanya menjadi pilihan terakhir orang atau sebagai bengkel akhlak orang yang telah rusak), namun juga menjadi miniatur kehidupan nyata.
• Memberikan perspektif baru terhadap dunia pesantren berupa penjelasan bahwa sekolah di pesantren itu tidak hanya diperuntukkan kepada anak-anak yang bermasalah. Tetapi untuk semua kalangan yang ingin belajar, baik dalam ilmu agama ataupun non agama.
• Memberikan semangat untuk meraih impian, dengan cara setiap hari menyerukan kalimat Man Jadda Wajadda (jika siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil).
• Memberikan keyakinan untuk mewujudkan impian.

Kekurangan
Novel
• Cerita tentang kenangan masa lalu yang seharusnya tidak perlu diceritakan karena tidak penting dan tidak ada kaitan dengan inti cerita.
• Beberapa bacaan tentang Bahasa Arab tidak diterjemahkan.
• Beberapa bacaan menggunakan bahasa yang sedikit sulit untuk dipahami.
• Novel Negeri 5 Menara ini, alur ceritanya cepat berubah.

Kesimpulan
 bahwa setinggi apapun impian kita dan cita-cita kita, bisa diraih dengan kerja keras (usaha), disiplin tinggi, dan doa.

Unsur Intrinsik
1. Tema
Tentang pendidikan. Karena sejak awal permasalahan ditimbulkan oleh ketidak inginan tokoh utama menjalani pendidikan di pesantren.

2. Alur/Plot
Alur dalam novel ini adala maju-mundur. Pada bagian awal diceritakan tokoh Alif fikri bersama istrinya tengah berada di Washington DC. Lalu tokoh utama mengenang kembali masa-masa di PM. Buktinya adalah sebagai berikut:
WashingtonDC, Desember 2003, jam 16.00. Iseng saja, aku mendekat ke jendela kaca dan menyentuh permukaannya dengan ujung telunjuk kananku. Tidak jauh, tampak The Capitol, gedung parlemen Amerika Serikat yang anggun putih gading, bergaya klasik dengan tonggak-tonggak besar. Aku tersenyum. Pikiranku langsung terbangun jauh ke masa lalu. Masa yang sangat kuat  terpatri dalam hatiku. ( hal.1 )

Aku tegak di atas aula madrasah negeri setingkat SMP. Sambil mengguncang-guncang telapak tanganku, Pak Sikumbang, Kepala Sekolahku memberi selamat karena ujianku termasuk sepuluh yang tertinggi di Kabupaten Agam. (hal. 5)

London, Desember 2003, Gigiku gemeletuk. London yang berangin terasa lebih menggigil dari Washington DC. Dulu kami melukis langit dan membebaskan imajinasi itu lepas membumbung tinggi. Setelah kami mengerahkan segala ikhtiar dan menggenapkan dengan doa, Tuhan mengirim benua impian kepelukan kami masing-masing.( hal. 405 )

3. Penokohan
a. Alif Fikri
Merupakan tokoh utama dalam novel. Ia berkarakter baik hati, pintar dan sedikit keras kepala. Sikap keras kepalanya terbukti ketika ia menolak keras permintaan ibunya untuk menuntut ilmu di Pondok Pesantren Madani. Impian menuntut ilmu di almamater berlambang Ganesha (ITB) pun terkadang membuat Alif iri pada Randai. Namun sedikit demi sedikit Alif mulai menyadari bahwa pilihan Amak adalah anugarah besar bagi dirinya.
b. Randai
Sahabat dekat sekaligus rival bagi Alif Fikri. Kendati bersahabat, keduanya sama-sama bersaing untuk menduduki ranking tertinggi dalam kelas. Dalam novel ini, tokoh Randai diceritakan sebagai pelajar pintar, baik hati namun sombong. Ia sering memamerkan keberhasilannya di bangku sekolah pada Alif, termasuk ketika SMA.
c. Sahibul menara
Merupakan teman dekat Alif semasa di PM. Mereka adalah Raja, Said, Dulmajid, Baso, dan Atang. Kelima orang itu diceritakan berwatak protagonis, dari merekalah Alif belajar mehargai perbedaan dan sedikit demi sedikit angannya melanjutkan pendidikan di SMA terobati.
d.  Amak
Amak adalah ibu Alif Fikri, seorang guru MI yang berhati lurus, idealis dan memiliki kemauan tinggi untuk memajukan putranya. Idealismenya tidak pandang bulu dan bisa mengenai siapa saja termasuk putra sendiri. Pernah suatu kali ia melukiskan angka merah di raport Alif lantaran putranya itu tidak mau memainkan alat musik ketika praktik kesenian. Amak juga sempat dijauhi para guru saat ia dengan tegas menolak memberikan bantuan jawaban pada siswa-siswi yang tengah menjalani Ujian Nasional.
e. Ayah
Dikisahkan sebagai orang sabar, pendiam tetapi juga sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya.
f. Ustadz Salman
Tokoh ini adalah wali kelas Alif semasa di PM, seorang lelaki mda bertubuh kurus dan bersuara lantang. Dari mulut beliaulah Alif mendengar petuah yang menginspirasi serta menguatkan tekad menuntaskan belajar di PM.
g. Kyai Rais
Pemimpin PM yang dihormati banyak kalangan, tak terkecuali Alif. Beliau memberi kalimat yang terpatri kuat di hati para santrinya, yakni “Man Jadda Wa Jadda dan Man Shabara Zafira”.
h. Sarah
Tokoh ini tidak terlalu ditonjolkan dalam novel. Ia adalah putri salah seorang pendidik di PM, satu-satunya perempuan yang pernah masuk ke lingkungan pesantren sehingga Sahibul Menara menjulukinya sebagai princess PM. Sahibul Menara juga sempat bertaruh barang siapa saja yang bisa mendekati Sarah, maka Raja akan mentraktirnya makan makrunah (makanan paling popular di PM) di kantin selama sebulan penuh. Alif yang kebetulan seorang pengurus majalah kampus bersedia menerima tawaran tersebut, dengan mengangkat profil keluarga Sarah, Alifpun sukses memenangkan taruhan karena sanggup menunjukkan bukti fotonya bersama Sarah.

4. Pelataran/Setting
a. Latar tempat.
karena menceritakan seputar ponpes dan peristiwa pasca kelulusan Alif, maka settingnya sebagian besar di Pondok Madani dan di Maninjau (Sumatra)

b. Latar Sosial
Latar sosial dalam novel ini adalah keadaan seorang pelajar yang terpaksa menempuh jalan lain untuk menggapai mimpinya. Namun jalan itu justru membawanya pada hal-hal tak terduga yang merupakan bonus dari bermimpi.

5.sudut pandang
Sudut pandang yang digunakan pengarang dalam novel tersebut, yaitu sudut pandang orang pertama tunggal dengan “Aku” sebagai tokoh utama. Hal ini dibuktikan oleh pengarang yang selalu menyebut tokoh utama dengan kata “Aku” saat di narasi, di mana seakan-akan pengarang adalah si tokoh utama : [“Iseng aja, aku mendekat ke jendela kaca dan menyentuh permukaannya dengan ujung telunjuk kananku” (Negeri 5 Menara, hal.1)]6.

6. Amanat
Banyak pelajaran yang dapat diambil dari novel karya Ahmad Fuadi ini. Salah satunya adalah banyak jalan untuk meraih cita-cita, meski menggunakan jalur berbeda dari keinginan namun kita pasti bisa menggapainya dengan satu syarat: tidak pernah menyerah.

7. Gaya Bahasa
Penulis menggunakan gaya bahasa yang komunikatif tetapi tidak berlebihan dan enak dibaca. Penuh kata mutiara tetapi juga lucu sehingga tidak membosankan, berikut buktinya:
Dulu kami melukis langit dan membebaskan imajinasi itu lepas membumbung tinggi. Aku melihat awan yang seperti benua Amerika, Raja bersikeras awan yang sama berbentuk Eropa, sementara Atang sangat percaya bahwa awan itu berbentuk Afrika. Baso malah melihat semua ini dalam konteks Asia, sedang Said dan Dulmajid awan itu berbentuk peta negara kesatuan Indonesia. Dulu kami tidak takut bermimpi. Meski juga kami tidak tahu bagaimana merealisasikannya. Tapi lihat hari ini, setelah kami mengerahkan segala ikhtiar dan menggenapkan dengan doa, Tuhan mengirim benua impian kepelukan kami masing-masing. Kun fayakun, maka semula awan impian, kini hidup yang nyata. ( hal. 405 ).


Unsur Ekstrinsik
1  Nilai Agama.
Novel ini menceritakan tentang kehidupan sekitar pesantren sehingga banyak mengajarkan nilai agama yang tidak terdapat pada novel-novel lain. Salah satu bukti itu adalah kalimat “Man Jadda Wa Jadda”, yang berarti siapapun dapat meraih cita-citanya asal ia bersungguh-sungguh.

2 Nilai Moral
Kebersamaan Sahibul Menara dalam menghadapi kerasnya pendididkan di pesantren mengajarkan bahwa sebagai penuntut ilmu, kita harus sabar dan tidak pantang menyerah menuntaskan apa yang telah dimulai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar